KSBNtv | Bali - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban, Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah berkolaborasi dengan Universitas Udayana, Praktisi lontar, Penyuluh Bahasa Bali, dan warga Dadia Batur, melakukan pembacaan prasasti berkaitan dengan babad serta data kesejarahan dalam kelompok masyarakat di Bali. Pembacaan prasasti dilaksanakan di Pura Dadia Ibu Gede Tangkas Puri Agung Pesangkan Desa Duda Timur, Selat-Karangasem, Bali, Selasa (17/9).
Karya tulis yang menceritakan tentang sejarah asal usul atau silsilah suatu keluarga atau masyarakat memiliki peran penting dalam memberikan identitas pada komunitas tertentu. Karya tulis tersebut tertuang dalam lontar atau media lainnya yang disebut sebagai Babad.
Babad ditulis dalam bentuk prosa atau puisi dan mengandung elemen mitologi, legenda, serta fakta sejarah. Karya ini sering kali digunakan untuk melestarikan budaya dan tradisi, biasanya disimpan di tempat yang disakralkan. Pembacaan prasasti harus mencari hari baik dengan perlengkapan sesajen dan menghadirkan pihak yang ahli dalam bidang budaya dan sastra, berdasarkan kesepakatan pihak-pihak terkait yang berkepentingan.
Menurut I Wayan Rupa, Peneliti Ahli Madya BRIN, pembacaan prasasti ini bertujuan untuk mengetahui isi dan keberadaan prasasti yang tersimpan. Selama ini isi prasasti belum diketahui oleh warga Dadia Batur khususnya para generasi muda. "Dari banyaknya prasasti yang ada, dipilih satu untuk dibacakan terkait dengan warga, khususnya warga Dadia Batur, dengan harapan dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan sesama warga Dadia Batur," jelas Wayan Rupa.
Hal senada disampaikan I Ketut Sulendra, Ketua panitia penyelenggara kegiatan pembacaan prasasti yang juga merupakan penglingsir (Tetua Adat) Dadia Batur. Dia menyampaikan bahwa sejak 35 tahun lontar tidak pernah dibacakan, sehingga isi lontar belum diketahui, terutama oleh generasi muda.
Sulendra menjelaskan, sebelum dilakukan pembacaan prasasti diawali dengan pemilihan hari baik berdasarkan kesepakatan warga Dadia Batur, serta mempersiapkan sarana upacara yang diperlukan untuk menurunkan prasasti dari tempat penyimpanannya untuk dibacakan. "Berdasarkan kesepakatan hasil pertemuan keluarga besar Dadia Batur, pembaca prasasti dilakukan bertepatan dengan Purnama Ketiga, dengan mendatangkan pihak-pihak dari luar yang kompeten seperti praktisi lontar (Ida I Dewa Gede Catra), Penyuluh bahasa Bali (Sang Made Joni dan Ni ketut Sudani), Akademisi Ida Bagus Rai Putra dari Fakulatas ilmu Budaya UNUD, dan Periset BRIN," ungkap Sulendra.
Selanjutnya, prasasti dibacakan oleh tim ahli yang sudah memahami isi prasasti dan terbiasa membaca sastra Bali. Warga Dadia Batur sepakat untuk melaksanakan isi prasasti sebagai bentuk bakti kepada leluhur. "Hasil pembacaan prasasti, akan disalin menjadi buku dalam Bahasa Bali dan Bahasa Latin, kemudian di cetak dan di publikasikan kepada seluruh krama Dadia Batur," tutur Sulendra.
Peneliti Ahli Madya BRIN, I Nyoman Rema mengungkapkan sebelum lontar dibaca terlebih dahulu lontar dibersihkan dengan menggunakan kuas, tisu atau kain lembut yang baru. Selanjutnya, dilihat kondisi lontar apakah berjamur, kering atau kondisi lain yang memerlukan perlakuan khusus. "Untuk pengawet lontar menggunakan minyak sereh sedangkan untuk pengeringnya menggunakan alkohol," jelas Rema.
Lebih lanjut, Rema menyampaikan jika huruf-huruf dalam lontar pudar maka dilakukan perbaikan dengan menggunakan kemiri yang dibakar, lalu digosokkan ke lontar sampai huruf dalam lontar terlihat jelas. "Proses selanjutnya, dilap sampai bersih dan untuk mempercepat proses pengeringannya dapat menggunakan alkohol," ungkapnya.
Peneliti Ahli Madya BRIN I Gusti Made Suarbhawa menyampaikan, peran BRIN dari ranah keilmuan, untuk mengolah data lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan ilmiah. Terkait substansi prasasti yang ada, dari 14 lontar terpilih satu lontar yang berkaitan dengan babad serta data kesejarahannya dalam kelompok masyarakat.
Data sejarah ini mencerminkan sekelompok masyarakat di Bali, sebagai bentuk bakti atau sembah sujud kehadapan para leluhur agar tidak salah arah. Di samping itu perlu saling mentoleransi dan tetap mengingat pentingnya persatuan dan kesatuan untuk menghormati leluhur dari mana kita berasal. “Misalnya kita dari leluhur A tetap harus menghormati leluhur A," ungkap Suarbhawa.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNUD, Ida Bagus Rai Putra mengatakan bahwa sebelum pembacaan prasasti terlebih dahulu dilakukan ritual sesuai kepercayaan agama Hindu menggunakan sarana upacara berupa banten pejati. Hal ini sebagai bentuk permohonan ijin agar pembacaan prasasti berjalan dengan lancar.
Prasasti yang dibacakan memuat tentang catatan kepada warga desa yang ditujukan kepada Arya Kanuruhan, Sri Jaya Saba, dan Sri Jaya Baya di Jawa ketika mengiringi Ida Dalem Kresna Kepakisan atau Dalem Klungkung. ”Titah (perintah) Dalem yang lain kepada warga jika ada warga yang ingin mengetahui atau menyalin prasasti ini harus dengan towas-towasan (persembahan), dan bebentenan (upacara) yang dipersembahkan,” jelas Bagus Rai.
Lebih lanjut, Bagus Rai mengungkapkan pembacaan lontar dilakukan sebagai rangkaian menyongsong Karya Ngenteg Linggih Nubung Daging (upacara yang sudah sejak lama tidak dilaksanakan dan akan dilaksanakan lagi) pada bulan November 2025 mendatang. Dengan adanya pembacaan lontar warga Dadia Batur diharapkan dapat hidup berdampingan dengan rukun serta meningkatkan ketakwaan kepada leluhur.
Dalam prasasti sejarah terdapat teknik penulisan yang membuat orang merasa dekat dengan budaya yang dianutnya, dan itu yang mempersatukan mereka. Adanya jiwa-jiwa zaman yang dilalui oleh leluhur biasanya menciptakan kerja yang baik dalam masyarakat, sehingga hal tersebut dijadikan panutan. "Dalam prasasti sejarah, tidak hanya sekadar tulisan, tetapi juga ada hukum-hukum rohani yang harus dilaksanakan," pungkas Rai Putra. (
Humas BRIN)