KSBNtv | Jakarta - Budaya megalitik di Pasemah Sumatera Selatan, juga di Gunung Slamet Jawa Tengah, Gunung Strobo Papua, serta di kampung Romanduru Flores merupakan contoh jejak – jejak budaya Austronesia. Keberagaman tinggalan budaya tersebut merupakan rekam jejak perkembangan peradaban Nusantara. Hal itu disampaikan Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Herry Jogaswara saat memberi sambutan webinar Forum Kebhinnekaan "Rekam Jejak Manusia dan Budaya Austronesia di Nusantara", Kamis (25/7).
Dalam forum ini, tim peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PR APS) BRIN menyajikan hasil risetnya. Irfan Mahmud, Kepala PR APS BRIN mengungkapkan, banyak perkembangan menarik dalam riset Austronesia dalam dua dasawarsa terakhir. Artinya, betapa luas cakupan, masalah ilmiah, dan praksisnya. Maka menurutnya, penting adanya pertukaran data dan informasi dalam menginventarisir rekam jejak tersebut.
“Kita memang memerlukan suatu kolaborasi karena studi austronesia adalah studi yang multidisiplin. Bukan hanya arkeologi tetapi juga ilmu bahasa, geologi, sejarah, antropologi, palinologi, dan lain-lainnya, karema semua disiplin ilmu tersebut bisa berkontribusi dalam riset,” ujarnya.
Irfan mulai bercerita bahwa situs-situs Austronesia tersebar luas di berbagai kawasan Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Bahkan kontekstualitas dari situs tersebut memberi ranah hubungan antar bangsa. Sehingga studi ini tidak hanya multi disiplin akan tetapi multi regional yang dapat menghubungkan peneliti antar bangsa.
Marsis Sutopo, Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) menanggapi, berbicara tentang budaya astronesia, banyak sekali hal-hal atau aspek-aspek yang belum tergali. Menurutnya, tingkat persebaran budaya Austronesia memang luar biasa dan masih banyak membutuhkan kajian serta penggalian lebih mendalam.
Dalam sesi diskusi, Triwurjani mengungkap penelusuran jejak pemukiman budaya megalitik di Pasemah Sumatera Selatan. Dituturkannya, Pasemah terdiri atas bentang lahan dataran tinggi dan pegunungan bergelombang, serta bentang lahan dataran rendah, sedangkan rawa daratan di bagian bawahnya.
Kesuburan Pasemah sebagai pilihan situs dikuatkan dengan adanya 3 sungai besar yang mengalir yaitu sungai Selangis di hulu kaki Gunung Dempo, Sungai Lematang, dan Sungal Endikat. Ketiganya mengalir menyatu ke sungai Musi di bagian hilir. Pembagian wilayah Paseman menurut aktivitasnya yaitu aktivitas penguburan pada area atas, penguburan pada area tengah, serta kegiatan sosial pemerintahan dan aktivitas lain pada area bawah.
Kemudian, Priyatno Hadi bercerita tentang pola penempatan situs-situs megalitik di Gunung Slamet Jawa Tengah. Dijelaskannya, di kawasan tersebut ditemukan 70 situs megalitik. Keberadaan bangunan- bangunan tersebut merupakan bukti bahwa pada masanya kebudayaan megalitik telah berkembang luas dan dianut oleh masyarakat yang bermukim di kawasan tersebut.
“Kehidupan masyarakat megalitik dilatari oleh kepercayaan terhadap kekuatan supranatural. Mereka menganggap bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia,” terang Priyantno. Ia juga mengungkapkan, di sana ada upacara pemujaan yang dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kekuatan supranatural agar tetap terjaga dengan baik.
Hal tersebut nampak dari hasil analisis lingkungan pola penempatan situs tersebut yang terbatas pada lereng bawah (low land) dan lereng tengah (midle land). Tergambar, masyarakat megalitik adalah masyarakat agraris sehingga pemilihan lahan dipilih pada lokasi yang cocok untuk pertanian.
Menurutnya, itu sesuai dengan subsistensi masyarakat megalitik yaitu bercocok tanam. Lingkungan gunung yang menyediakan sumberdaya untuk bercocok tanam dijelaskan pada lereng situs bagian bawah atau lereng bagian tengah.
Sementara, Erlin Novita Idje Djamie memaparkan mengenai tata ruang peninggalan megalitik di situs Gunung Probo. Tata ruang di sepanjang punggung bukit dari barat ke timur ini membentuk ruang-ruang yang menurut fungsinya terkait dengan aktivitas pemujaan dan penguburan.
“Tata letaknya sebagai hasil proses interaksi manusia dengan lingkungannya, di mana mereka memanfaatkan potensi lingkungan yang ada dan memodifikasinya menurut kebutuhan mereka,” jelasnya.
Diungkapkan juga, sumber bahan batuannya, umumnya berasal dari area situs itu sendiri. Ada juga yang diambil dari beberapa lokasi di kawasan pesisir pantai utara, seperti Pegunungan Cyclop. Dari segi bahan, bentuk, dan tata letak tinggalan megalitiknya dapat diketahui bahwa di situs ini sudah terbentuk stratifikas? sosial,” pungkas Erlin.
Putri Novita Taniardi menyampaikan risetnya di pemukiman tradisi megalitik Kampung Romanduru Flores. Di sini ia fokus pada komunitas adat Krowe di kampung tersebut dengan budaya materi sebagai simbol-simbol dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Ia jelaskan, budaya materi sekaligus menjadi batas yang memisahkan satu ruang dengan ruang lain, satu tempat dengan tempat lain, serta pengkultusan akan roh leluhur. Simbol-simbol tersebut di antaranya wu'a mahe, wati mahang, dan ai tali.
Simbol-simbol ini mempunyai relasi dalam konteks lanskap budaya Ata Krowe. “Tiap-tiap budaya secara langsung menunjukkan bagaimana lanskap budaya Ata Krowe. Lebih jelasnya, Wu 'a mahe merupakan pusat dari perkampungan karena bentuk permukimannya mengelilingi wu'a mahe itu sendiri,” tegasnya.
Putri juga mengulas pengaturan lahan pada komunitas adat Krowe tidak terlepas dari peranan Tono Pu'an, sebagai pemegang otoritas di Romanduru. Sementara, Suku Buang Baling sebagai Tana Pu'an hingga sekarang masih memegang legitimasi atas pengaturan lahan. (
Humas BRIN)